GUANTANAMO (abstract)

Since its opening back in 2002, Guantanamo prison which is located in Guantanamo Bay, Cuba, is known as a sadistic prison which violates the human rights of its detainees and has become a global concern. Those arrested are people who are considered terrorists and/or the accomplices of Taliban and Osama bin Laden in the eyes of the United States. Some visible evidence of punishments seemed to be imposed only because of trivial errors, for example, putting towels, cups and utensils in the wrong position, exposing to interrogation, and insulting the Quran have approved human rights violations and international law in Guantanamo prison.

Ironically, the United States is one of the countries ratifying the Convention Against Torture, the Geneva Conventions of 1949, and the International Covenant on Civil and Political Rights. All these covenants prohibit torture and degrading human dignity to anyone, including prisoners of war for any reason. The United States, as a country that upholds respect for human rights, continue to use coercive interrogation methods to the detainees and ignore the principle of state sovereignty, the importance and role of multilateral institutions like the UN, ICRC and regional organizations, as well as the provisions of international law such as the Geneva Convention on the bases of national security.

Not long after the Guantanamo prison is opened and later the acts of torture and human rights violations in the prison were revealed, there appear a lot of reactions and criticism coming from the international world and tarnished the credibility of the United States in the eyes of the world organizations such as the UN, ICRC, Indonesian Red Cross, NGOs and human rights activists as well as the media that often express their protests against human rights violations at Guantanamo. Responding to such criticism, President Barack Obama promised to immediately close the Guantanamo prison. However, there are many complex legal challenges and security issues in fulfilling this promise to close Guantanamo and so far the plan has not yet been realized.

Marxisme, Andrew Linklater

Berakhirnya Perang Dingin, runtuhnya Partai Komunis di Rusia dan Eropa Timur, serta menyebarnya kapitalisme menyebabkan komunisme dianggap tidak lagi relevan dan hanya tinggal sejarah. Akan tetapi, ada dua hal yang membuat Marxisme tetap eksis sebagai sebuah pemikiran, bahkan mengalami kebangkitan kembali atau renaissance, yaitu: (1) perpecahan Blok Timur dan runtuhnya Uni Soviet, (2) teori sosial Marx masih menyediakan analisis yang penting mengenai dunia yang kita huni, yaitu analisis mengenai kapitalisme sebagai metode produksi atau mode of production.

Bagi kaum Marxis, konflik kelas lebih mendasar dibanding konflik antar negara. Dan sebagai suatu sistem ekonomi, kapitalisme bersifat ekspansif, selalu mencari pasar baru dan lebih menguntungkan. Disebabkan kelas-kelas batas negara konflik tidak terbatas pada negara-negara, bahkan meluas ke seluruh dunia dalam gelombang kapitalisme. Sebagai contoh, terdapat interdependensi ekonomi yang tertinggi antar negara sekitar perang dunia pertama; juga terdapat interdependensi ekonomi yang tinggi antar banyak negara saat ini. Ia mempercayai perekonomian dunia sebagai pembangunan yang tidak seimbang yang telah menghasilkan hirarki dan wilayah core semi periphery, dan periphery. Yang kaya dalam wilayah core (Eropa Barat, Amerika Utara dan Jepang) digerakkan atas penderitaan wilayah periphery (Dunia ketiga). Inilah yang kemudian dinamakan World system theory. Dengan menggunakan teori dependensia, fenomena core-periphery berhasil ditemukan akar penyebabnya, yaitu keterlambatan pembangunan pada kebergantungan yang besar dari misalnya, negara-negara Amerika Latin kepada negara-negara industri seperti Amerika Serikat. Kebergantungan ini telah memperparah keterlambatan pembangunan karena mekanisme eksploitasi yang dilakukan negara-negara center ke negara-negara periphery, baik secara langsung maupun melalui media negara-negara semi periphery.

Kehadiran dan perkembangan industrialisasi pada abad ke-19, selain menciptakan lapangan pekerjaan yang besar, juga membawa kesengsaraan bagi masyarakat dimana pabrik-pabrik didirikan. Kesenjangan secara sosial ekonomi terjadi antara mereka yang memiliki kekuasaan modal dan politik dengan mereka yang memiliki keuangan terbatas. Kondisi ini membuat Karl Marx, penteori ekonomi-politik sosialis yang paling berpengaruh pada abad itu, mengkritik keberadaan kapitalisme dan mengembangkan teori ekonomi politik saintifiknya sendiri untuk menjelaskan perubahan yang terjadi dalam industrialisasi baru di Eropa. Teorinya didasarkan bagi tujuan perjuangan kelas antara proletar (kaum pekerja) dan borjuis (pemilik faktor produksi).
• Gramscianisme

Gramsci mempertanyakan mengapa revolusi di Eropa Barat sulit untuk dilakukan. Jawabannya mengenai pertanyaan ini berkisar di seputar konsep hegemoni. Hegemoni adalah istilah dalam hubungan internasional yang menggambarkan negara yang paling berkuasa atau yang paling dominan dalam sistem internasional. Menurut Gramsci, ideologi yang dominan telah ‘mengendap’ dalam masyarakat sehingga dianggap sebagai common sense. Proses ini bertempat dalam masyarakat sipil, yaitu jaringan institusi dan praktik dalam masyarakat yang menikmati sejumlah otonomi dari negara di mana kelompok dan individu mengekspresikan diri mereka pada satu sama lain dan pada negara.

• Robert Cox: Analisis mengenai ‘World Order’

Cox membedakan antara problem solving theory yang menerima parameter dari order yang telah ada dan critical theory yang berupaya untuk menentang order yang ada dengan cara mencari, menganalisis, dan mendukung proses sosial yang dapat mengarah pada perubahan emansipatoris. Cox menerapkan konsep hegemoni Gramsci ke dalam lingkup internasional dengan berargumen bahwa hegemoni adalah sesuatu yang penting untuk mempertahankan stabilitas dan keberlangsungan seperti halnya dalam level domestik. Dalam analisis Cox mengenai dua hegemon (AS dan Inggris), gagasan hegemonik yang mereka gunakan adalah perdagangan bebas. Cox mempertahankan pandangan Marxis bahwa kapitalisme adalah sistem yang secara bawaan tidak stabil dan memiliki kontradiksi-kontradiksi yang tidak dapat dihindari.

• Critical Theory

Critical theory memusatkan perhatian pada masyarakat internasional dan keamanan internasional. Kontribusi critical theory yang paling besar adalah konsep mereka mengenai emansipasi. Menurut para tokoh critical theory generasi pertama, emansipasi berarti rekonsiliasi dengan alam. Generasi selanjutnya, terutama Habermas, menekankan proses dialog dan komunikasi dalam proses emansipasi. Menurut Habermas, partisipasi tidak boleh dibatasi oleh batasan negara berdaulat tertentu. Ia juga menyatakan bahwa Menurut Andrew Linklater, emansipasi dalam hubungan internasional berarti semakin terkikisnya signifikansi etis dan moral negara. Menurutnya, Uni Eropa merupakan contoh pemerintahan post-Westphalian. Elemen yang penting dalam metode critical theory dinamakan immanent critique.

Jadi globalisasi adalah proses di mana transaksi sosial mengenai berbagai jenis hal semakin meningkat tanpa hubungan dengan batas-batas negara. Globalisasi ditandai oleh semakin menyatunya perekonomian nasional, kesadaran global mengenai saling ketergantungan ekologis, membludaknya jumlah perusahaan, gerakan-gerakan sosial, dan para pelaku antarpemerintah yang beroperasi dalam skala global, serta revolusi komunikasi yang membantu perkembangan kesadaran global. Menurut teori Marxis, dunia telah lama didominasi oleh satu perekonomian tunggal dan kesatuan politik, yaitu sistem kapitalis global. Jadi, kaum Marxis tidak menganggap globalisasi sebagai sesuatu yang baru, melainkan sebagai kecenderungan jangka panjang dari perkembangan kapitalisme. Lebih jauh lagi, globalisasi sering dijadikan alat ideologis untuk membenarkan pengurangan hak-hak dan prinsip kesejahteraan para buruh.

*you and god*

Mother Teressa

Mother Teressa

“People are often unreasonable and self-centered. Forgive them anyway.
If you are kind, people may accuse you of ulterior motives. Be kind anyway.
If you are honest, people may cheat you. Be honest anyway.
If you find happiness, people may be jealous. Be happy anyway.
The good you do today may be forgotten tomorrow. Do good anyway.
Give the world the best you have and it may never be enough. Give your best anyway.

For you see, in the end, it is between you and God. It was never between you and them anyway.”

— Mother Teresa

By the way, can I actually pray “Dear God, bless everybody except the ones that I hate”? 😛

Electoral College VS Popular Votes

Amerika Serikat adalah negara yang sangat menjunjung tinggi demokrasi. Namun seperti yang telah kita ketahui bersama pada tahun 2000 ketika terjadi pemilihan presiden antara Bush dan Al Gore dimana Al Gore memenangkan mayoritas national popular votes namun kalah karena Bush mendapatkan 271 eloctoral votes. Hal ini merupakan kali ke empat hal yang serupa terjadi, 1824 Adams vs Jackson, 1876 Hayes vs Tilden dan 1888 Harrison vs Cleveland. Menyikapi hal yang seperti ini kita semua menjadi bertanya-tanya, demokrasikah Amerika?

Sistem Electoral College ini sendiri merupakan bagian dari konstitusi Amerika Serikat. Para pendiri Amerika tidak setuju dengan pemerintahan yang dijalankan oleh negara-negara di Eropa dan Amerika, dimana kebanyakan menganut sistem pemerintahan monarki dan masih sangat sedikit sekali yang merupakan negara republik. Oleh karena itu mereka memutuskan untuk membuat sebuah konstitusi –dalam hal ini menyangkut pemilihan presiden- dengan berdasarkan dua isu penting yaitu : power to people dan power to the state yang dinamakan sistem electoral college.

Para pendiri AS tidak percaya pada kemampuan masyarakatnya untuk memilih presiden secara langsung. Oleh karenanya, mereka harus memilih ’electors’ yang dapat dipercaya untuk memilihkan pilihan terbaik bagi mereka, ini yang dinamakan power to people. Kemudian, sebelum revolusi, koloni Inggris tidak memiliki kesadaran untuk menjadi seorang American. Mereka masih berada di bawah pengaruh kerajaan Inggris, bahkan setelah revolusi pun kesetiaan terhadap ’state’ selalu didahulukan daripada kepentingan negara (AS). Oleh karena itu Konstitusi dibentuk untuk menyatukan seluruh koloni di bawah satu pemerintahan nasional, namun tidak seluruhnya. Negara kecil seperti New Jersey takut jika mereka bersatu di bawah konstitusi maka mereka akan ’tenggelam’ di bawah dua belas negara bagian besar lainnya seperti New York dan Virginia. New York dan Virginia, tentu saja, berpikir bahwa mereka sudah seharusnya memiliki pengaruh yang paling besar. Itulah mengapa setiap negara bagian memiliki jumlah senator yang sama dan memiliki perwakilan HoR sesuai dengan jumlah populasi mereka, dan gabungan dari keduanya itulah yang dinamakan Electoral College. Dengan begitu, negara besar tetap memiliki pengaruh besar namun negara kecilpun tidak sepenuhnya kehilangan pengaruh.

Kita telah diingatkan dan mendapat pelajaran dari kasus Al Gore-Bush bahwa Konstitusi tidak mengatakan bahwa yang memenangkan suara nasional lah yang menang, namun yang memenangkan suara electoral college lah yang akan maju menjadi presidean. Jadi, Bush menduduki kursi kpresidenan secara adil sesuai dengan yang diatur oleh konstitusi. Dan di sinilah kemudian muncul banyak pertanyaan dan perdebatan mengenai ’apakah suara kami (warga AS) benar-benar dihitung? Apakah sistem seperti ini benar-benar menceriminkan demokrasi yang sebenarnya?’

Hampir 65-70 persen warga AS menginginkan sistem electoral college ini digantikan oleh sistem pemilihan langsung, karena menggambarkan keadilan yang mendasar. Dan hampir 700 proporsal telah diajukan kepada Kongres untuk menghapus sistem electoral college. Lebih banyak propsal diajukan kepada Konstitusi untuk masalah sistem pemilihan ini daripada masalah-masalah lainnya. Apalagi saat ini 48 negara bagian dan 1 DC menggunakan sistem the-winner-take-all, yang artinya semua electors akan memilih kandidat yang menang di daerah mereka. Kecuali di dua negara yaitu Maine dan Nebraska yang pemilihannya berdasarkan Congressional District vote dan memberikan dua suara untuk kandidat yang menang. Padahal di masa awal, para electors bebas memilih presiden dan wakilnya sesuai dengan pilihan mereka.

Di sisi lain, tanpa sistem electoral college maka dapat dibayangkan bahwa para kandidat akan menghabiskan sedikit sekali waktu untuk meraih suara masyarakat yang tinggal di negara bagian kecil. Seperti yang disebutkan oleh Curtis Gran dari Committee for the Study of the American Electorate, :

“The idea of getting rid of the Electoral College . . . would be profoundly dangerous, particularly in the present way that we conduct our campaigns.  Essentially what this would mean is that the totality of our campaigns would be a television advertising, tarmac kind of campaign. You would be handing the American presidential campaign to whatever media adviser could out slick the other.  Different States in different regions have important interests to which the candidate should be subjected and to which the candidates should be required to speak. . . . [D]irect elections would insure that all monetary resources would be poured into [televised political] advertising.  There would be virtually no incentive to try to mobilize constituencies, organize specific interests, or devote any resources to such things as voter registration and education. . . . What we would have is a political system that combines the worst of network television with the worst of the modern campaign.”Created by user

Di bawah system electoral college, saya yakin bahwa para kandidat dapat memenangkan suara hanya dengan mengantongi suara-suara dari 11 negara bagian besar (California, Texas, Florida, New York, Ohio, Pennsylvania, Illinois, Michigan, New Jersey, North Carolina, dan Georgia atau Virginia), namun di bawah system pemilihan langsung perhitungan ini bahkan dapat direduksi lagi, bisa dengan hanya mengantongi suara mayoritas di 7-8 negara bagian berpopulasi besar.

Memang secara substansial, system seperti ini tidak menunjukan bagaimana demokrasi AS berjalan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa selama beratus-ratus tahun system ini tidak pernah gagal –setidaknya empat kali- berjalan sesuai dengan prosedur. Apalagi jika pemilihan presiden berlangsung normal maka pemenang electoral college akan sama dengan pemenang popular votes. Jika memang system ini dirasa tidak memenuhi syarat demokrasi maka sudah lama system ini diganti, namun toh sampai saat ini system electoral college ini masih dapat eksis dan berjalan sebagaimana mestinya.

Jadi demokrasi bukan hanya sekedar memberi kekuasaan ke rakyat untuk memilih sendiri pemimpinnya (power to people), namun seperti yang disebutkan di atas bahwa power to the state bagi AS juga penting karena meskipun demokrasi tidak dirasakan langsung oleh setiap individu namun menjamin Negara bagian yang lebih kecil dimana individu itu berada.

Trouble is a Friend

Trouble will find you no matter where you go, oh oh
No matter if you’re fast, no matter if you’re slow, oh oh
The eye of the storm or the cry in the mourn, oh oh
You’re fine for a while but you start to lose control

He’s there in the dark, he’s there in my heart
He waits in the wings, he’s gotta play a part
Trouble is a friend, yeah trouble is a friend of mine, oh oh!

Trouble is a friend but trouble is a foe, oh oh
And no matter what I feed him he always seems to grow, oh oh
He sees what I see and he knows what I know, oh oh
So don’t forget as you ease on down the road

He’s there in the dark, he’s there in my heart
He waits in the wings, he’s gotta play a part
Trouble is a friend, yeah trouble is a friend of mine, oh oh

So don’t be alarmed if he takes you by the arm
I won’t let him win, but I’m a sucker for his charm
Trouble is a friend, yeah trouble is a friend of mine, oh oh!

Oh how I hate the way he makes me feel
And how I try to make him leave, I try
Oh oh, I try!

He’s there in the dark, he’s there in my heart
He waits in the wings, he’s gotta play a part
Trouble is a friend, yeah trouble is a friend of mine, oh oh

So don’t be alarmed if he takes you by the arm
I won’t let him win, but I’m a sucker for his charm
Trouble is a friend, yeah trouble is a friend of mine, oh oh!
Ooo, oh ooo, ooo ahh

like this ! like this ! like this !

Amish dan Diskriminasi

Di jaman modern dan serba tekhnologi sekarang ini masih terdapat masyarakat yang anti terhadap teknologi dan tidak segan-segan untuk tidak menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari betapapun krusialnya teknologi tersebut. Masyarakat ini menamakan dirinya masyarakat Amish, Amish merupakan sebuah perkumpulan Kristen anabaptis yang terdapat di Amerika Serikat. Sungguh ironi karena Amerika Serikat termasuk ke dalam bangsa yang sangat menguasai teknologi, namun justru ada sebagian kecil masyarakatnya yang menolak menggunakan teknologi. Mereka dibiarkan berkembang dalam komunitasnya, dan menerapkan apa yang mereka percaya, sejauh mereka tidak memaksakan negara juga menerapkan apa yang mereka percaya sebagai satu-satunya kebijakan nasional. Dan karena jumlah mereka yang sedikit maka mereka termasuk ke dalam kaum minoritas. Mereka melarang pemakaian listrik karena ada kekhawatiran bila kabel-kabel tembaga itu menjadi sarana penodaan atas ajaran tradisional mereka. Mereka tidak mau jika ajaran yang menurut mereka murni harus terkontaminasi oleh hal-hal asing dan merusak dari dunia luar. Pola pikir ini sederhana saja, sebenarnya. Tidak semua unsur dunia luar itu buruk, tetapi tidak semuanya juga baik. Dan kalau semuanya tidak tentu baik, lebih bagus melestarikan semua yang sudah pasti baik. Dan karena mereka cinta damai, barangkali kelompok Amish cuma perlu berkilah: ampunilah kami yang tidak melakukan apa yang Anda lakukan, sebagaimana kami mengampuni kalian yang tidak melakukan apa yang kami lakukan.

Selain itu, Amish pun berusaha untuk memisahkan diri dari pergaulan sosial, politik maupun ekonomi dengan warga AS lainnya juga pemerintahan AS. Mereka tidak membayar pajak , asuransi dan hal-hal yang berkaitan dengan kewajiban mereka sebagai warga negara yang normal, termasuk juga menolak masuk militer. Karena Amish tidak menunaikan kewajibannya maka Amish pun tidak mendapatkan hak atau jaminan apapun  yang menjadi kewajiban pemerintah kepada warga negaranya seperti memberikan jaminan sosial, perlindungan hukum, asuransi atau bantuan keuangan dalam bentuk apapun.

Dan terkadang hal inilah yang dimanfaatkan oleh segelintir orang yang tidak bertanggung jawab –di luar orang Amish tentunya- untuk melakukan perbuatan melanggar hukum terhadap masyarakat Amish seperti, penganiayaan, pemerkosaan, dan pembunuhan. Dengan anggapan bahwa karena toh mereka tidak akan mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana mestinya sehingga para pelaku tindak kejahatan tersebut dapat bebas dari jerat hukum. Sebagaimana yang biasa terjadi pada kaum minoritas, yaitu tindakan diskriminasi yang datang dari kaum mayoritas, masyarakat Amish pun tidak lepas dari perlakuan tersebut. Dan sudah tentu hal ini diperparah dengan Amish yang tidak memiliki perlindungan hukum ditambah masyarakat Amish sendiri ketika mereka mengalami pelecehan, mereka tidak berusaha menuntut perlindungan hukum dari pemerintah dan memilih membiarkan hal itu berlalu.

Namun, Amerika Serikat, sebagai negara yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia memiliki amandemen Bill of Rights, dimana warga negara Amerika Serikat, secara jelas, memiliki hak berekspresi akan ide-ide mereka, sehingga bahkan masyarakat Amish pun mendapatkan jaminan tersebut, baik mereka menunaikan kewajiban mereka atau tidak. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah AS akan bagaimana seharusnya melaksanakan isi amandemen tersebut terhadap masyarakat Amish yang rentan terhadap perlakuan diskriminatif dari kalangan non-Amish.

Berbicara mengenai perlakuan diskriminasi, akan muncul suatu pertanyaan apakah kaum minoritas benar-benar rentan terhadap tindakan diskriminasi? Jawabannya tentu saja tergantung bagaimana interaksi antara kaum minoritas itu sendiri dengan kaum mayoritas. Dalam kasus Amish ini, mereka tidak menganggap dirinya kaum minoritas karena mereka merasa tidak bergantung/ butuh dengan kaum mayoritas (non-Amish), seperti minoritas lain (afro-amerika, muslim-amerika, dll.) Masyarakat Amish sendiri lah yang mengucilkan diri mereka sendiri dan hal ini yang menyebabkan kaum non-Amish memandang mereka sebelah mata. Eksklusivitas dan kebijakan “tirai bambu” komunitas Amish membuat masyarakat umum seringkali menganggap mereka aneh atau inferior terhadap gaya dan kebudayaan mayoritas. Diskriminasi dapat terjadi jika adanya ketimpangan dalam hal perlakuan terhadap kelompok atau golongan tertentu yang pada akhirnya memunculkan kecurigaan ataupun tindakan sebagai impact dari ketimpangan tersebut. Jadi pada dasarnya kaum minoritas tidaklah selalu rentan terhadap perlakuan diskriminatif, perbedaan antar kaum minoritas yang mendapat perlakuan diskriminatif dengan yang tidak adalah bagaimana kedua kelompok (monoritas dan mayoritas) tersebut saling berinteraksi. Jika salah satunya mengucilkan diri seperti Amish maka pihak lain akan melakukan hal yang sama dan ada kemungkinan membalasnya dengan tindakan diskiriminatif.

Contoh kasus yang kontemporer adalah terjadi penembakan terhadap lima anak perempuan disertai pelecehan seksual di sekolah Amish di Lencaster, Pennsylvania, oleh seorang laki-laki yang kemudian bunuh diri setelah penembakan. Kaum Amish tidak meminta tanggung jawab pemerintah dalam hal ini. Mereka memilih membiarkannya saja. Namun jika dibandingkan dengan diskriminasi terhadap kaum kulit hitam di AS, maka masalah Amish ini sangat tidak ada apa-apanya. Entah karena kaum kulit hitam membaur dalam masyarakat kulit putih dan Amish memisahkan diri yang menjadi perbedaan tersebut atau bukan.

Jadi kesimpulannya adalah, Amish sebagai kaum minoritas cukup mendapat perlakuan diskriminatif karena eksklusifitas yang mereka jalankan, namun karena kehidupan mereka terpisah dari masyarakat mayoritas dan sangat sedikit bersinggungan maka perlakuan diskriminatif yang mereka terima tidak lebih buruk daripada yang dialami oleh kaum kulit hitam, dimana mereka mendapat perlakuan diskriminatif di setiap aspek kehidupan mereka, bukan hanya sekedar tindak kekerasan dan pelecehan saja.

watch this

see ya..

Two Level Game

Politik dalam negeri atau domestik dan hubungan internasional seringkali memiliki keterkaitan satu sama lain. Belum ada jawaban yang pasti untuk pertanyaan apakah politik domestik benar-benar mempengaruhi hubungan luar negeri atau sebaliknya, hubungan luar negeri mempengaruhi politik domestik. Namun ada sebuah teori yang dapat menjelaskan mengenai fenomena tersebut yang dikenal dengan teori ‘two level game’, sebuah metafora untuk interaksi domestik-internasional yang dikemukakaan oleh Robert Putnam, yakni keterkaitan erat antara faktor-faktor domestik dan sukses tidaknya peran diplomasi suatu Negara. Putnam berpendapat bahwa dibutuhkan berbagai strategi penyesuaian faktor-faktor domestik guna memperoleh posisi dalam percaturan internasional. Kemampuan penanganan masalah-masalah domestik dengan dan melalui penyesuaian struktur dan kebijakan akan sangat menentukan kiprah berhasil tidaknya ‘foreign policy’ suatu Negara.

Putnam menjelaskan bahwa pada hakikatnya seorang diplomat atau negosiator akan selalu berhadapan dengan two level games atau permainan dua tingkat (Putnam: 1993). Pada tingkat pertama, seorang negosiator akan berhadapan dengan “lawannya” yang berasal dari negara lain, sementara tingkat kedua diartikan proses negosiasi dan diskusi yang terjadi di wilayah domestik negosiator, di mana para anggota parlemen, LSM, ataupun kelompok-kelompok domestik lainnya menjadi “lawan” mereka. Hasil negosiasi level kedua akan sangat mempengaruhi keberhasilan negosiasi di level pertama. Putnam lantas menguraikan mengenai pentingnya “win-set” atau tingkat kesepakatan di level kedua bagi suksesnya negosiasi di level pertama. Artinya, semakin besar kesepakatan domestik, berarti semakin besar win-set dan semakin besar pula perundingan di level pertama mencapai keberhasilan. Sebagai contoh, rumitnya proses ratifikasi kebijakan luar negeri di parlemen berarti kecilnya tingkat win-set dan kecilnya peluang kesuksesan pelaksanaan politik luar negeri dan diplomasi, karena kecilnya tingkat kesepakatan domestik akan memperlemah posisi tawar dengan pihak asing. [1]

Sebaliknya, proses penyetujuan kebijakan yang tidak terlalu rumit akan membuat kebijakan tersebut mantap dan efektif karena memperkecil celah terjadinya polemik domestik yang pada akhirnya akan memperlemah posisi tawar pada forum internasional. Namun, di sisi lain, pilihan untuk melakukan penyederhanaan proses ratifikasi juga akan memberi peluang bagi sentralisasi kebijakan. Karena itu, diperlukan suatu rumusan yang tepat bagi suatu mekanisme pembuatan keputusan yang demokratis dan efektif.

Gagasan Putnam mengenai two level games dan win-set menjadi landasan teoretis bagi asumsi bahwa aturan-aturan mengenai kekuasaan dan kewenangan dalam memutuskan kebijakan yang berkaitan dengan hubungan luar negeri, akan sangat mempengaruhi kebijakan dalam tataran operasional. Singkatnya, penataan institusi yang mengarah kepada terciptanya mekanisme pembuatan keputusan yang jelas dan efektif, akan memberikan kontribusi bagi optimalitas pelaksanaan kebijakan luar negri dan diplomasi.[2]

Namun demikian, pada perkembangannya, strategi two level game ini tidak selalu difokuskan untuk menganalisis proses negosiasi dan ratifikasi traktat internasional. Tetapi juga dikembangkan pada hubungan luar negeri suatu negara yang memang memiliki basis kepentingan domestik yang cukup kuat atau yang menjadi kebutuhan negara tersebut untuk segera ditangani.[3]

Contoh kasus yang menarik adalah ketika seorang pengemudi truk berkebangsaan Filipina, Angelo de la Cruz, beberapa dibebaskan oleh kelompok militan di Irak setelah pemerintah Filipina memenuhi tuntutan kelompok tersebut untuk menarik pasukan Filipina yang terdiri atas 51 orang tentara dari Irak. Keputusan kontroversial Presiden Gloria Macapagal-Arroyo ini menuai banyak kritik, terutama dari Amerika Serikat dan Australia. Apa yang melatarbelakangi keputusan Pemerintah Filipina? Dan bagaimana kebijakan ini akan mempengaruhi komitmen internasional Filipina, terutama dalam hubungannya dengan sekutu terdekatnya, Amerika Serikat?

Menjawab pertanyaan tersebut, latar belakang kebijakan kontroversial itu tampaknya cukup jelas: pertimbangan-pertimbangan politik domestik ternyata lebih signifikan dibanding pertimbangan posisi negara di dunia internasional. Filipina memiliki sejumlah besar tenaga kerja yang bekerja di kawasan Timur Tengah dan devisa yang mereka hasilkan cukup besar. Dengan kenyataan ini, penting bagi pemerintah Filipina untuk menjamin kelangsungan keselematan para pekerja ini. Ketika kasus penyanderaan De la Cruz mencuat, apalagi dengan ancaman pemenggalan, pemerintah Filipina melihat adanya risiko reaksi keras, baik dari kelompok tenaga kerja di Timur Tengah maupun masyarakat di Filipina. Risiko ini dinilai berbahaya bagi pemerintahan Presiden Arroyo yang masih dalam keadaan rentan dan dalam upaya keras untuk menggalang kekuatan setelah melewati pemilihan umum yang amat ketat.

Meski demikian, hubungan AS-Filipina, meski kini terganggu, akan tetap dapat bertahan. Tekanan internasional, meskipun dalam kasus-kasus ekstrem terpaksa harus diabaikan karena adanya kepentingan domestik yang jauh lebih besar, tetap pada akhirnya memiliki signifikansi yang lebih besar karena ada kepentingan negara untuk tetap eksis dalam sistem internasional, baik dalam bentuk kebutuhan keamanan maupun terciptanya lingkungan internasional yang kondusif dan menguntungkan.

Dalam merumuskan kebijakan luar negeri, para pembuat kebijakan harus menghadapi berbagai konstituen sekaligus: negara-negara lain dalam sistem politik internasional, termasuk berbagai aktor yang terlibat di dalamnya, dan konstituen mereka sendiri, yaitu masyarakat di dalam negeri. Para pembuat kebijakan harus menyadari bahwa hasil-hasil kebijakan akan selalu rentan terhadap berbagai faktor domestik dan juga, sebaliknya, kebijakan luar negeri akan berdampak pada keadaan politik domestik.

Ada beberapa cara melalui mana keadaan domestik berpengaruh pada kebijakan luar negeri. Faktor-faktor domestik dapat menjadi sumber dan juga hambatan bagi kebijakan luar negeri. Pada kasus-kasus dengan tuntutan komitmen internasional mengacu pada arah yang berlawanan dengan kepentingan domestik, faktor domestik akan menjadi hambatan bagi kebijakan luar negeri. Negara-negara terikat secara internasional melalui kepentingan yang sama, tetapi dalam banyak kasus keterikatan tersebut menuntut beban domestik, baik secara politis maupun finansial. Ada kasus-kasus dengan tekanan internasional dianggap lebih serius sehingga suatu pemerintahan dituntut untuk mengambil risiko kemunduran dalam kebijakan lainnya di dalam negeri yang berarti hantaman bagi popularitas bagi pemerintahan tersebut bagi publiknya sendiri.[4]


[1]Robert Putnam’s seminar 1988 paper, “Diplomacy and Domestic Politics: The Logic of Two-Level Games”

[2] The Center for Presidential and Parliamentary Studies,ParamadinaUniversity

[3] RPKPS, Politik Kerjasama Internasional, Dr. Nanang Pamuji

[4] Centre for Strategic and International Studies

Review film ‘HAIR’

Hair – Peace Movement

200px-Hairmovieposter

Film yang dikemas dalam sebuah film musical ini diangkat dari panggung Broadway yang melukiskan keadaan sosial Amerika pada tahun 1970an. Mengisahkan tentang seorang laki-laki, Claude, yang harus memenuhi panggilan militernya dan kemudian bertemu dengan sekelompok anak jalanan yang membawa dia melewati bermacam kejadian tak terlupakan dalam hidupnya.

Metode menggunakan ‘lagu’ sebagai salah satu bentuk sarana untuk menyampaikan pesan bukanlah sesuatu yang baru bagi kita dan bahkan semakin banyak dijumpai dimana-mana karena alasan mudah, murah, dan cukup ekektif. Bahkan dalam aksi-aksi nir kekerasan pun metode singing ini kerap kali dipakai. Seperti misalnya John Legend atau bahkan Slank yang sering menyampaikan kritik terhadap pemerintah melalui lirik-liriknya. Begitupun dalam film ini, Milos Forman, sang sutradara,  berusaha menyampaikan fakta-fakta sosial seperti isu diskriminasi rasial, politik, gender dan perang yang dikemas sedemikian rupa agar mudah diterima namun tersampaikan pesannya.

Inti dalam film ini sebenarnya terletak pada empat orang anak jalanan tersebut. Mereka terlihat seperti ingin melepaskan diri dari sistem sosial yang mengikat mereka. Salah satu dari gerombolan tersebut, Berger, sebenarnya hidup berkecukupan dan masih memiliki orang tua. Dan satu orang lagi bahkan memiliki istri dan anak. Mereka mencoba membebaskan diri dari kekerasan struktural dan kultural yang ada dalam masyarakat, yang menuntut mereka untuk selalu mematuhi aturan dan norma yang berlaku. Satu-satunya wanita yang ada di antara mereka, Jeannie, bahkan hamil tanpa tahu mana di antara tiga orang itu yang menjadi ayahnya dan dia tidak peduli dengan kenyataan itu. Mereka sama sekali tidak bergantung pada siapapun untuk memenuhi hak nya sehingga tidak merasa harus memenuhi kewajiban kepada masyarakat. Dan mereka bertahan menghadapi kekerasan tersebut tanpa melakukan kekerasan, meskipun terkadang tingkah laku mereka mengganggu ketenangan umum.

Hal ini mengingatkan kita bahwa kekerasan tidak hanya terjadi secara fisik atau kekerasan langsung. Kekerasan struktural dan kultural justru mengakibatkan dampak yang meluas dan lebih parah meskipun tidak terasa. Diskriminasi rasial, perbedaan strata ekonomi, status justru menimbulkan lebih banyak kekerasan lagi. Banyak orang lupa atau tidak tahu bahwa perdamaian bukanlah hanya sekedar ketiadaan kekerasan fisik, namun tidak bisa dipungkiri bahwa perdamaian positif, dimana kekerasan struktural dan cultural tidak ada, sangat sulit untuk diciptakan. Karena kekerasan seperti itu dibentuk oleh sistem, tidak dapat dikenali sehingga tidak bisa ditangani serta efeknya sangat lama. Terlebih biasanya yang sering melakukan kekerasan struktural adalah Negara, yang seharusnya berkewajiban melindungi warganya.

Di sini juga terdapat contoh kekerasan struktural yang dilakukan oleh Negara. Film ini berlatar beakang ketika perang Vietnam masih berangsung,  Negara mengirimkan surat penggilan militer kepada warganya untuk ikut berpartisipasi  dalam perang Vietnam, suka ataupun tidak. Dalam kenyataannya masyarakat Amerika yang kurang beruntung (menurut saya begitu) mendapat surat panggilan dan berat hati untuk ikut serta telah melakukan bermacam aksi nir kekerasan untuk menolak kebijakan pemerintah. Selain menolak berpartisipasi aktif, masyarakat Amerika juga menolak segala sesuatu yang berkaitan dengan perang seperti membayar pajak yang akan digunakan untuk membiayai perang. Ini mengingatkan kita pada tokoh Henry David Thoreau yang selama sekian tahun menolak membayar pajak karena tidak setuju dengan perang AS – Meksiko dan masuk penjara karenanya. Dia juga membuat sebuah tulisan berjudul Civil Disobedience tentang seseorang yang tidak setuju secara moral dengan kebijakan-kebijakan negara yang kemudian menjadi inspirasi bagi banyak tokoh-tokoh besar seperti Hemmingway, Luther King, Gandhi dan masih banyak lagi. Salah satu kata-katanya yang terkenal adalah “I’m too high born to be propertied. To be a second at control, or useful serving-man and instrument to any sovereign state throughout the world”. Dia berpendapat bahwa Negara tidak peduli pada moral dan intelektual seseorang, Negara hanya peduli pada kekuatan fisik orang tersebut, “I was born not to be forced. I will breath after my own fashion.”

Namun Claude memilih untuk memenuhi panggilan militernya karena merasa itu adalah kewajiban yang harus dia penuhi meskipun teman-temannya membantu untuk menghindarkan dia dari panggilan tersebut. Jeannie bahkan menawarkan kepada Claude untuk menikahinya agar Claude terbebas dari panggilan militer. Dan akhir yang tidak disangka adalah, ketika Berger menyamar sementara agar Claude dapat menemui Sheila sebelum pergi, jadwal keberangkatan dimajukan dan Berger terpaksa ikut perang dan tewas.

Secara keseluruhan, film ini jelas melukiskan beragam permasalahan sosial yang terjadi di Amerika dan bagaimana mereka menghadapinya dengan cara-cara yang tidak biasa. Meskipun masalah-masalah sosial tersebut kebanyakan sudah jarang terjadi di dunia modern sekarang ini namun apa yang mereka lakukan dapat menjadi inspirasi bagi kita.

-ditulis untuk memenuhi tugas akhir Pengantar Studi Perdamaian 2009-

Globalisasi : Dampak Adanya Circle K (budaya dan ekonomi) di Indonesia

Globalisasi bukanlah barang baru lagi. Bahkan di UGM globalisasi menjadi kajian tersendiri. Sudah beribu-ribu tulisan dan riset mengenai globalisasi dari segi manapun.. Mengapa globalisasi begitu penting? Karena dampaknya menyentuh hampir setiap lapisan masyarakat, pemerintah, masyarakat kelas atas, menengah dan bawah, mahasiswa, dan banyak lagi. Dampaknya juga beragam, ekonomi, politik juga budaya.

Convenient Store adalah toko serba ada yang berisi berbagai macam kebutuhan sehari-hari dan berlokasi di daerah tertentu yang strategis. Disebut “convenience” karena hampir semua barang yang dibutuhkan masyarakat ada didalamnya sehingga tidak perlu repot pergi ke berbagai tempat untuk berbelanja, ditambah lokasi yang mudah dijangkau oleh masyarakat. Ciri-cirinya adalah, menjual barang-barang yang bisa langsung dipakai dan/atau cepat saji, dalam satu shift, biasanya hanya mempekerjakan 1-3 pegawai, jam operasi biasanya 18-24 jam, terletak di dekat perumahan atau wilayah yang padat penduduk, biasanya memiliki lahan parkir yang sempit; ada yang tidak memiliki lahan parkir sama sekali.

Convenient Store 24 jam yang ada di Jogja adalah Circle K, Indomaret, Alfamart, CU 24 dan Smile yang baru saja buka sebulan terakhir ini. Jaman dahulu, convenient store sudah ada, namun yang membedakan adalah sekarang sudah semakin banyak yang buka 24 jam dengan alasan menuruti kebutuhan masyarakat. Convenient store lokal yang hingga saat ini masih mengikuti jam operasional konvesional adalah diantaranya Gading Mas dan beberapa Indomaret yang tidak terletak di lingkungan kos-kosan mahasiswa.

Saya tidak akan panjang lebar menjelaskan awal mula Convenient Store 24 jam ini ada. Namun seperti yang telah kita semua ketahui bahwa Convenient Store 24 jam, dalam hal ini khususnya Circle K dan akan disebut kemudian Circle K saja, adalah salah satu convenient store yang berasal dari Amerika Serikat. Kemudian Circle K ini mulai membuka cabang di luar negeri dan termasuk di Negara kita.

Hyperglobalist

Globalisasi itu sendiri memiliki banyak definisi  dan berbagai perspektif untuk mendefinisikannya. Sehingga ketika penulis menyatakan bahwa Circle K membawa perubahan budaya  akibat globalisasi maka akan banyak juga yang berpendapat lain. Oleh karena itu sebelum berbicara lebih lanjut, saya akan menyatakan pandangannya mengenai apa yang dinamakan globalisasi dan posisi/perspektifnya terhadap globalisasi. Globalisasi adalah satu episode sejarah yang belum pernah terjadi sebelumnya, dimana territorial antar Negara menjadi tidak lagi relevan dan Negara tidak berdaya untuk mencegah ini. Dan oleh karena itu posisinya menjadi jelas bahwa saya sependapat dengan para Hyperglobalist. Para hyperglobalist juga mengatakan bahwa ekonomi menjadi sumber utama globalisasi, terdapat aliran uang yang sangat besar serta perubahan hakikat aktivitas ekonomi.

Kembali ke studi kasus Circle K, saya juga melihatnya adalah sebagai salah satu bentuk episode baru yang belum pernah terjadi di Indonesia sebelumnya. Sejak dahulu Indonesia memiliki ‘jam malam’, namun apa yang terjadi dewasa ini? Kita akan melihat bahwa ‘jam malam’ tersebut sudah banyak ‘dilanggar’ terutama untuk kota-kota besar seperti Jogja ini. Pengaruh Circle K yang tadinya hanya berdampak pada pemikiran masing-masing individu yang ‘kaku’ menjadi ‘fleksibel’ menjadi merambat ke sebuah gaya hidup atau budaya baru, yaitu kehidupan 24 jam ini. Karena sudah pasti bahwa yang dinamakan pengaruh tidak hanya berhenti pada satu aspek saja, namun jika ‘dia’ berhasil mempengaruhi satu aspek maka aspek yang lain akan ikut terpengaruh juga. Jika Circle K ini berhasil mempengaruhi pemikiran orang terhadap kefleksibelan waktu maka kefleksibelan waktu ini dapat mempengaruhi gaya hidupnya.

Proses

Selain itusaya juga memandang globalisasi sebagai suatu proses yang tidak dapat dihentikan atau dibalik (Bill Clinton). Dan pengaruh Circle K terhadap ‘jam malam’ Indonesia ini bukanlah sesuatu yang dapat dikembalikan setelah terkena pengaruh. Bagaimana mungkin kita bisa merubah pemikiran orang tentang kefleksibelan terhadap waktu menjadi kaku seperti sebelumnya, terutama jika convenient store 24 jam tersebut tetap ada dan semakin berkembang? Itulah yang seharusnya kita terima sebagai salah satu bentuk dunia yang modern. Lawan dari proses adalah proyek, yang mengatakan bahwa globalisasi merupakan suatu proyek akhir dari seorang aktor. Ini berarti bahwa kehidupan 24 jam ini adalah sebuah hasil akhir yang sudah direncanakan oleh seseorang atau Negara sebelumnya. Bagaimana bisa seperti itu? Apakah Amerika Serikat sebagai Negara pembawa Circle K telah dengan sengaja memasukan Circle K ke Indonesia hanya untuk mengubah gaya hidup masyarakat Indonesia? Saya rasa tidak seperti itu. Dalam globalisasi, seperti yang dikatakan oleh Robert Hormas bahwa the great beauty of globalization is  that no one is in charge. It is not controlled by any individual, any government, any institution. Orang-orang yang berpendapat bahwa globalisasi adalah sebuah proyek mengatakan bahwa globalisasi ini merupakan hasil interaksi dari kelompok-kelompok yang berkepentingan dan tidak mungkin tidak ada agency sama sekali dibaliknya. Mungkin memang benar jika pemerintah Indonesia memiliki peran dalam masuknya Circle K ke Indonesia, karena tanpa ijin dari pemerintah maka Amerika Serikat atau pemilik Circle K tersebut tidak bisa begitu saja beroperasi si Negara kita. Namun apakah pemerintah Indonesia, AS juga para pengusaha Circle K tersebut mengatur dampak yang akan dibawa oleh Circle K? mengatur siapa saja yang akan terpengaruh? Penulis pikir pemerintah kita sama sekali tidak memiliki pemikiran ke arah situ. Pemerintah kita hanya memikirkan keuntungan-keuntungan ekonomi yang didapat dengan mengizinkan Circle K memasuki pasar Indonesia.

Selain perubahan budaya, yang banyak diperbincangkan adalah mengenai agen atau korban globalisasi. Dalam pandangan globalisasi adalah sebuah proses, sudah disebutkan bahwa no one is in charge, tidak ada yang namanya korban globalisasi karena semua berperan dalam perubahan budaya. Masyarakat tidak diarahkan oleh siapapun dan karenanya ikut bertanggungjawab dalam perubahan budaya. Dalam kasus ini, masyarakat atau khususnya mahasiswa bahkan lebih tepat untuk disebut sebagai agen daripada korban.

Budaya

Di Amerika Serikat sendiri convenient store 24 jam seperti ini sudah sangat lama ada karena memang kehidupan di Amerika Serikat sangat jauh berbeda dengan kehidupan Negara kita. Di Amerika Serikat, kehidupan 24 jam adalah salah satu ‘budaya’ mereka, sehingga toko-toko 24 jam seperti ini tumbuh mengikuti budaya mereka yang seperti itu. Lain halnya dengan Indonesia, Indonesia memiliki apa yang disebut sebagai ‘jam malam’. Dimana ketika sudah mencapai atau melewati ‘jam malam’ tersebut maka sudah sangat sedikit terlihat adanya aktivitas-aktivitas yang normal kecuali memang aktivitas yang lazimnya dilakukan pada malam hari.

Kemudian ketika Circle K masuk ke Indonesia, perlahan tapi pasti, budaya Indonesia sedikit demi sedikit mengikuti budaya Negara pembawa Circle K tersebut. Di awal-awal hadirnya, Circle K di malam hari masih sangat sedikit sekali pengunjungnya. Namun disadari atau tidak, Circle K saat ini, khususnya di jam yang sudah melewati ‘jam malam’ Indonesia, akan terlihat banyak pengunjung, entah untuk alasan apapun.

Namun seperti yang telah kita mengerti bahwa perubahan budaya yang satu akan berimbas pada yang lainnya, budaya yang diakibatkan adanya Circle K ini tidak hanya pada perubahan standarisasi jam malam saja, hal ini berimbas pula pada semakin banyaknya aktifitas-aktifitas yang dilakukan melewati jam malam selain belanja kebutuhan mendesak. Rumah makan seperti McDonald, KFC dan Mr. Burger juga sudah buka 24 jam, dan anehnya tidak pernah sepi dari aktifitas, bahkan sangat ramai di tengah malam atau menjelang subuh. Hal ini menunjukan bahwa bukan hanya ‘jam malam’ itu bergeser, tetapi juga hampir hilang terutama di kota-kota besar. Orang sudah tidak menganggap berkeliaran melewati ‘jam malam’ itu sebagai ,yang biasa orang Indonesia sebut,  “pamali” lagi.

Hal-hal seperti inilah yang disebut sebagai globalisasi budaya. Circle K yang berasal dari Amerika ikut membawa budaya Amerika ke Indonesia dan sedikit demi sedikit mempengaruhi budaya Indonesia. Perubahan budaya itu sendiri memang tidak dapat dikenali di awalnya, namun ketika imbasnya sudah meluas baru orang-orang menyadari bahwa budaya tersebut telah berubah. Ketika orang-orang menyadari dan kemudian mulai banyak dibicarakan, sudah terlambat untuk mencegah dan mengembalikannya seperti semula. Ini juga yang menegaskan bahwa globalisasi merupakan sebuah proses karena akibatnya tidak dapat dikembalikan.

Ekonomi

Ini juga berkaitan dengan globalisasi dari sudut pandang ekonomi atau bisnis. Circle K berasal dari Amerika Serikat (luar negeri) yang tidak begitu saja bisa beroperasi tanpa memperoleh ijin dari pemerintah Indonesia. Circle K ini hampir sama seperti Perusahaan Multinasional atau Foreign Direct Investment dimana pemilikan dan kendali asset di suatu Negara oleh penduduk Negara lain. Ini merupakan salah satu bentuk transformasi produksi. Salah satu penyebab transformasi tersebut adalah perubahan ideology dan liberalisasi perdagangan. Dahulu sebelum zaman orde baru, di bawah pemerintahan Soekarno, Indonesia sangat menjaga ketat bantuan atau investasi apapun yang datang dari luar negeri. Pasar Indonesia tidak seterbuka seperti sekarang ini. Namun ketika Soeharto berkuasa, inveastasi dari luar negeri mengalir masuk, hingga saat ini, karena tidak mungkin merubah proses tersebut terutama dengan kondisi Negara kita yang bergantung pada hutang dan bantuan luar negeri. Perubahan seperti inilah yang membuat perusahaan asing atau Circle K dapat dengan mudah masuk ke Indonesia.

Liberalisasi ekonomi itu sendiri adalah pandangan ekonomi-politik internasional yang menganggap pasar berperan lebih penting daripada Negara. Peran pasar adalah sebagai proses koordinasi secara damai, yang membawa individu-individu ke dalam permainan yang saling menguntungkan. Peran kekuasaan Negara dapat diabaikan (Smith), umumnya terbatas pada struktur keamanan (Reagen dan Teacher), atau lebih kuat, tetapi terutama dipakai untuk memperkuat dan menstabilkan pasar (Keynes). [1]

Proses globalisasi dan liberalisasi ekonomi ini berakibat pada semakin menipisnya peran negara bangsa. Negara-negara bangsa tidak lagi memiliki sumber-sumber tanpa batas yang dapat dimanfaatkan secara bebas untuk mewujudkan ambisi mereka. Dalam globalisasi dan liberalisasi yang terjadi saat ini, peran negara secara meyakinkan akan digantikan oleh peran penting yang semakin meningkat dari aktor-aktor nonteritorial, seperti perusahaan-perusahaan transnasional, gerakan-gerakan sosial transnasional, maupun organisasi-organisasi internasional. Dalam kondisi seperti ini, negara harus beradaptasi dengan tuntutan dunia yang telah mengalami globalisasi.

Di Indonesia, seperti yang telah saya singgung sedikit di atas, paham liberalisasi ekonomi mulai terasa pengaruhnya di tahun 1980-an, ketika pemerintah mulai menerapkan kebijakan liberalisasi keuangan dan ekonomi, yang berujud dalam berbagai paket deregulasi semenjak tahun 1983. Paralel dengan masa itu adalah terjadinya krisis hutang dunia Ketiga di tahun 1982, ketika Mexico default. Setelah itu Bank Dunia dan IMF masuk ke dalam perekonomian negara-negara yang terkena krisis hutang lewat perangkat SAP. Saat itu terutama di negara-negara Amerika Latin dan Afrika. Indonesia belumlah terkena krisis, dan karenanya jauh dari hiruk-pikuk SAP. Akan tetapi sejak itu jelas pola pembangunan Indonesia mulai mengadopsi kebijakan neo-liberal, khususnya karena keterikatan Indonesia kepada IGGI, Bank Dunia dan IMF.

Terkait dengan studi kasus Circle K, impilkasi masuknya Circle K ke Indonesia selain dari segi budaya juga membawa dampak dari segi ekonomi. Circle K yang marak di Indonesia, terutama di Jogjakarta, juga berhasil menstimulus convenient store lokal seperti Indomaret, Alfamart untuk buka 24 jam. Selain merangsang convenient store yang sudah ada untuk buka 24 jam, Circle K juga telah merangsang bermunculannya toko-toko baru yang tidak ada sebelumnya, seperti Smile dan CU 24. Hal ini semakin memberi penegasan bahwa adanya Circle K telah merubah meskipun sedikit perekonomian setempat.

Jadi untuk studi kasus Circle K ini saya memandangnya daru sudut pandang Hyperglobalis karena dampak yang ditimbulkannya tidak pernah terjadi seebelumnya. Perubahan budaya tersebut juga merupakan sebuah proses karena budaya baru tidak dapat dibalik atau irreversible serta tidak ada seorang pun yang dikontrol atau mengontrol. Danpak yang ditimbulkan dengan adanya Circle K ini berupa perubahan budaya dari adanya standarisasi jam malam menjadi berangsur-angsur menghilangnya jam malam di Indonesia, khususnya di kota-kota besar. Dan terakhir, selain budaya, Circle K juga mempengaruhi perekonomian karena menstimulus dibukanya toko-toko yang serupa.


[1] Mohtar Mas’oed,  Ekonomi Politik Internasional.