Globalisasi : Dampak Adanya Circle K (budaya dan ekonomi) di Indonesia

Globalisasi bukanlah barang baru lagi. Bahkan di UGM globalisasi menjadi kajian tersendiri. Sudah beribu-ribu tulisan dan riset mengenai globalisasi dari segi manapun.. Mengapa globalisasi begitu penting? Karena dampaknya menyentuh hampir setiap lapisan masyarakat, pemerintah, masyarakat kelas atas, menengah dan bawah, mahasiswa, dan banyak lagi. Dampaknya juga beragam, ekonomi, politik juga budaya.

Convenient Store adalah toko serba ada yang berisi berbagai macam kebutuhan sehari-hari dan berlokasi di daerah tertentu yang strategis. Disebut “convenience” karena hampir semua barang yang dibutuhkan masyarakat ada didalamnya sehingga tidak perlu repot pergi ke berbagai tempat untuk berbelanja, ditambah lokasi yang mudah dijangkau oleh masyarakat. Ciri-cirinya adalah, menjual barang-barang yang bisa langsung dipakai dan/atau cepat saji, dalam satu shift, biasanya hanya mempekerjakan 1-3 pegawai, jam operasi biasanya 18-24 jam, terletak di dekat perumahan atau wilayah yang padat penduduk, biasanya memiliki lahan parkir yang sempit; ada yang tidak memiliki lahan parkir sama sekali.

Convenient Store 24 jam yang ada di Jogja adalah Circle K, Indomaret, Alfamart, CU 24 dan Smile yang baru saja buka sebulan terakhir ini. Jaman dahulu, convenient store sudah ada, namun yang membedakan adalah sekarang sudah semakin banyak yang buka 24 jam dengan alasan menuruti kebutuhan masyarakat. Convenient store lokal yang hingga saat ini masih mengikuti jam operasional konvesional adalah diantaranya Gading Mas dan beberapa Indomaret yang tidak terletak di lingkungan kos-kosan mahasiswa.

Saya tidak akan panjang lebar menjelaskan awal mula Convenient Store 24 jam ini ada. Namun seperti yang telah kita semua ketahui bahwa Convenient Store 24 jam, dalam hal ini khususnya Circle K dan akan disebut kemudian Circle K saja, adalah salah satu convenient store yang berasal dari Amerika Serikat. Kemudian Circle K ini mulai membuka cabang di luar negeri dan termasuk di Negara kita.

Hyperglobalist

Globalisasi itu sendiri memiliki banyak definisi  dan berbagai perspektif untuk mendefinisikannya. Sehingga ketika penulis menyatakan bahwa Circle K membawa perubahan budaya  akibat globalisasi maka akan banyak juga yang berpendapat lain. Oleh karena itu sebelum berbicara lebih lanjut, saya akan menyatakan pandangannya mengenai apa yang dinamakan globalisasi dan posisi/perspektifnya terhadap globalisasi. Globalisasi adalah satu episode sejarah yang belum pernah terjadi sebelumnya, dimana territorial antar Negara menjadi tidak lagi relevan dan Negara tidak berdaya untuk mencegah ini. Dan oleh karena itu posisinya menjadi jelas bahwa saya sependapat dengan para Hyperglobalist. Para hyperglobalist juga mengatakan bahwa ekonomi menjadi sumber utama globalisasi, terdapat aliran uang yang sangat besar serta perubahan hakikat aktivitas ekonomi.

Kembali ke studi kasus Circle K, saya juga melihatnya adalah sebagai salah satu bentuk episode baru yang belum pernah terjadi di Indonesia sebelumnya. Sejak dahulu Indonesia memiliki ‘jam malam’, namun apa yang terjadi dewasa ini? Kita akan melihat bahwa ‘jam malam’ tersebut sudah banyak ‘dilanggar’ terutama untuk kota-kota besar seperti Jogja ini. Pengaruh Circle K yang tadinya hanya berdampak pada pemikiran masing-masing individu yang ‘kaku’ menjadi ‘fleksibel’ menjadi merambat ke sebuah gaya hidup atau budaya baru, yaitu kehidupan 24 jam ini. Karena sudah pasti bahwa yang dinamakan pengaruh tidak hanya berhenti pada satu aspek saja, namun jika ‘dia’ berhasil mempengaruhi satu aspek maka aspek yang lain akan ikut terpengaruh juga. Jika Circle K ini berhasil mempengaruhi pemikiran orang terhadap kefleksibelan waktu maka kefleksibelan waktu ini dapat mempengaruhi gaya hidupnya.

Proses

Selain itusaya juga memandang globalisasi sebagai suatu proses yang tidak dapat dihentikan atau dibalik (Bill Clinton). Dan pengaruh Circle K terhadap ‘jam malam’ Indonesia ini bukanlah sesuatu yang dapat dikembalikan setelah terkena pengaruh. Bagaimana mungkin kita bisa merubah pemikiran orang tentang kefleksibelan terhadap waktu menjadi kaku seperti sebelumnya, terutama jika convenient store 24 jam tersebut tetap ada dan semakin berkembang? Itulah yang seharusnya kita terima sebagai salah satu bentuk dunia yang modern. Lawan dari proses adalah proyek, yang mengatakan bahwa globalisasi merupakan suatu proyek akhir dari seorang aktor. Ini berarti bahwa kehidupan 24 jam ini adalah sebuah hasil akhir yang sudah direncanakan oleh seseorang atau Negara sebelumnya. Bagaimana bisa seperti itu? Apakah Amerika Serikat sebagai Negara pembawa Circle K telah dengan sengaja memasukan Circle K ke Indonesia hanya untuk mengubah gaya hidup masyarakat Indonesia? Saya rasa tidak seperti itu. Dalam globalisasi, seperti yang dikatakan oleh Robert Hormas bahwa the great beauty of globalization is  that no one is in charge. It is not controlled by any individual, any government, any institution. Orang-orang yang berpendapat bahwa globalisasi adalah sebuah proyek mengatakan bahwa globalisasi ini merupakan hasil interaksi dari kelompok-kelompok yang berkepentingan dan tidak mungkin tidak ada agency sama sekali dibaliknya. Mungkin memang benar jika pemerintah Indonesia memiliki peran dalam masuknya Circle K ke Indonesia, karena tanpa ijin dari pemerintah maka Amerika Serikat atau pemilik Circle K tersebut tidak bisa begitu saja beroperasi si Negara kita. Namun apakah pemerintah Indonesia, AS juga para pengusaha Circle K tersebut mengatur dampak yang akan dibawa oleh Circle K? mengatur siapa saja yang akan terpengaruh? Penulis pikir pemerintah kita sama sekali tidak memiliki pemikiran ke arah situ. Pemerintah kita hanya memikirkan keuntungan-keuntungan ekonomi yang didapat dengan mengizinkan Circle K memasuki pasar Indonesia.

Selain perubahan budaya, yang banyak diperbincangkan adalah mengenai agen atau korban globalisasi. Dalam pandangan globalisasi adalah sebuah proses, sudah disebutkan bahwa no one is in charge, tidak ada yang namanya korban globalisasi karena semua berperan dalam perubahan budaya. Masyarakat tidak diarahkan oleh siapapun dan karenanya ikut bertanggungjawab dalam perubahan budaya. Dalam kasus ini, masyarakat atau khususnya mahasiswa bahkan lebih tepat untuk disebut sebagai agen daripada korban.

Budaya

Di Amerika Serikat sendiri convenient store 24 jam seperti ini sudah sangat lama ada karena memang kehidupan di Amerika Serikat sangat jauh berbeda dengan kehidupan Negara kita. Di Amerika Serikat, kehidupan 24 jam adalah salah satu ‘budaya’ mereka, sehingga toko-toko 24 jam seperti ini tumbuh mengikuti budaya mereka yang seperti itu. Lain halnya dengan Indonesia, Indonesia memiliki apa yang disebut sebagai ‘jam malam’. Dimana ketika sudah mencapai atau melewati ‘jam malam’ tersebut maka sudah sangat sedikit terlihat adanya aktivitas-aktivitas yang normal kecuali memang aktivitas yang lazimnya dilakukan pada malam hari.

Kemudian ketika Circle K masuk ke Indonesia, perlahan tapi pasti, budaya Indonesia sedikit demi sedikit mengikuti budaya Negara pembawa Circle K tersebut. Di awal-awal hadirnya, Circle K di malam hari masih sangat sedikit sekali pengunjungnya. Namun disadari atau tidak, Circle K saat ini, khususnya di jam yang sudah melewati ‘jam malam’ Indonesia, akan terlihat banyak pengunjung, entah untuk alasan apapun.

Namun seperti yang telah kita mengerti bahwa perubahan budaya yang satu akan berimbas pada yang lainnya, budaya yang diakibatkan adanya Circle K ini tidak hanya pada perubahan standarisasi jam malam saja, hal ini berimbas pula pada semakin banyaknya aktifitas-aktifitas yang dilakukan melewati jam malam selain belanja kebutuhan mendesak. Rumah makan seperti McDonald, KFC dan Mr. Burger juga sudah buka 24 jam, dan anehnya tidak pernah sepi dari aktifitas, bahkan sangat ramai di tengah malam atau menjelang subuh. Hal ini menunjukan bahwa bukan hanya ‘jam malam’ itu bergeser, tetapi juga hampir hilang terutama di kota-kota besar. Orang sudah tidak menganggap berkeliaran melewati ‘jam malam’ itu sebagai ,yang biasa orang Indonesia sebut,  “pamali” lagi.

Hal-hal seperti inilah yang disebut sebagai globalisasi budaya. Circle K yang berasal dari Amerika ikut membawa budaya Amerika ke Indonesia dan sedikit demi sedikit mempengaruhi budaya Indonesia. Perubahan budaya itu sendiri memang tidak dapat dikenali di awalnya, namun ketika imbasnya sudah meluas baru orang-orang menyadari bahwa budaya tersebut telah berubah. Ketika orang-orang menyadari dan kemudian mulai banyak dibicarakan, sudah terlambat untuk mencegah dan mengembalikannya seperti semula. Ini juga yang menegaskan bahwa globalisasi merupakan sebuah proses karena akibatnya tidak dapat dikembalikan.

Ekonomi

Ini juga berkaitan dengan globalisasi dari sudut pandang ekonomi atau bisnis. Circle K berasal dari Amerika Serikat (luar negeri) yang tidak begitu saja bisa beroperasi tanpa memperoleh ijin dari pemerintah Indonesia. Circle K ini hampir sama seperti Perusahaan Multinasional atau Foreign Direct Investment dimana pemilikan dan kendali asset di suatu Negara oleh penduduk Negara lain. Ini merupakan salah satu bentuk transformasi produksi. Salah satu penyebab transformasi tersebut adalah perubahan ideology dan liberalisasi perdagangan. Dahulu sebelum zaman orde baru, di bawah pemerintahan Soekarno, Indonesia sangat menjaga ketat bantuan atau investasi apapun yang datang dari luar negeri. Pasar Indonesia tidak seterbuka seperti sekarang ini. Namun ketika Soeharto berkuasa, inveastasi dari luar negeri mengalir masuk, hingga saat ini, karena tidak mungkin merubah proses tersebut terutama dengan kondisi Negara kita yang bergantung pada hutang dan bantuan luar negeri. Perubahan seperti inilah yang membuat perusahaan asing atau Circle K dapat dengan mudah masuk ke Indonesia.

Liberalisasi ekonomi itu sendiri adalah pandangan ekonomi-politik internasional yang menganggap pasar berperan lebih penting daripada Negara. Peran pasar adalah sebagai proses koordinasi secara damai, yang membawa individu-individu ke dalam permainan yang saling menguntungkan. Peran kekuasaan Negara dapat diabaikan (Smith), umumnya terbatas pada struktur keamanan (Reagen dan Teacher), atau lebih kuat, tetapi terutama dipakai untuk memperkuat dan menstabilkan pasar (Keynes). [1]

Proses globalisasi dan liberalisasi ekonomi ini berakibat pada semakin menipisnya peran negara bangsa. Negara-negara bangsa tidak lagi memiliki sumber-sumber tanpa batas yang dapat dimanfaatkan secara bebas untuk mewujudkan ambisi mereka. Dalam globalisasi dan liberalisasi yang terjadi saat ini, peran negara secara meyakinkan akan digantikan oleh peran penting yang semakin meningkat dari aktor-aktor nonteritorial, seperti perusahaan-perusahaan transnasional, gerakan-gerakan sosial transnasional, maupun organisasi-organisasi internasional. Dalam kondisi seperti ini, negara harus beradaptasi dengan tuntutan dunia yang telah mengalami globalisasi.

Di Indonesia, seperti yang telah saya singgung sedikit di atas, paham liberalisasi ekonomi mulai terasa pengaruhnya di tahun 1980-an, ketika pemerintah mulai menerapkan kebijakan liberalisasi keuangan dan ekonomi, yang berujud dalam berbagai paket deregulasi semenjak tahun 1983. Paralel dengan masa itu adalah terjadinya krisis hutang dunia Ketiga di tahun 1982, ketika Mexico default. Setelah itu Bank Dunia dan IMF masuk ke dalam perekonomian negara-negara yang terkena krisis hutang lewat perangkat SAP. Saat itu terutama di negara-negara Amerika Latin dan Afrika. Indonesia belumlah terkena krisis, dan karenanya jauh dari hiruk-pikuk SAP. Akan tetapi sejak itu jelas pola pembangunan Indonesia mulai mengadopsi kebijakan neo-liberal, khususnya karena keterikatan Indonesia kepada IGGI, Bank Dunia dan IMF.

Terkait dengan studi kasus Circle K, impilkasi masuknya Circle K ke Indonesia selain dari segi budaya juga membawa dampak dari segi ekonomi. Circle K yang marak di Indonesia, terutama di Jogjakarta, juga berhasil menstimulus convenient store lokal seperti Indomaret, Alfamart untuk buka 24 jam. Selain merangsang convenient store yang sudah ada untuk buka 24 jam, Circle K juga telah merangsang bermunculannya toko-toko baru yang tidak ada sebelumnya, seperti Smile dan CU 24. Hal ini semakin memberi penegasan bahwa adanya Circle K telah merubah meskipun sedikit perekonomian setempat.

Jadi untuk studi kasus Circle K ini saya memandangnya daru sudut pandang Hyperglobalis karena dampak yang ditimbulkannya tidak pernah terjadi seebelumnya. Perubahan budaya tersebut juga merupakan sebuah proses karena budaya baru tidak dapat dibalik atau irreversible serta tidak ada seorang pun yang dikontrol atau mengontrol. Danpak yang ditimbulkan dengan adanya Circle K ini berupa perubahan budaya dari adanya standarisasi jam malam menjadi berangsur-angsur menghilangnya jam malam di Indonesia, khususnya di kota-kota besar. Dan terakhir, selain budaya, Circle K juga mempengaruhi perekonomian karena menstimulus dibukanya toko-toko yang serupa.


[1] Mohtar Mas’oed,  Ekonomi Politik Internasional.

Leave a comment