Two Level Game

Politik dalam negeri atau domestik dan hubungan internasional seringkali memiliki keterkaitan satu sama lain. Belum ada jawaban yang pasti untuk pertanyaan apakah politik domestik benar-benar mempengaruhi hubungan luar negeri atau sebaliknya, hubungan luar negeri mempengaruhi politik domestik. Namun ada sebuah teori yang dapat menjelaskan mengenai fenomena tersebut yang dikenal dengan teori ‘two level game’, sebuah metafora untuk interaksi domestik-internasional yang dikemukakaan oleh Robert Putnam, yakni keterkaitan erat antara faktor-faktor domestik dan sukses tidaknya peran diplomasi suatu Negara. Putnam berpendapat bahwa dibutuhkan berbagai strategi penyesuaian faktor-faktor domestik guna memperoleh posisi dalam percaturan internasional. Kemampuan penanganan masalah-masalah domestik dengan dan melalui penyesuaian struktur dan kebijakan akan sangat menentukan kiprah berhasil tidaknya ‘foreign policy’ suatu Negara.

Putnam menjelaskan bahwa pada hakikatnya seorang diplomat atau negosiator akan selalu berhadapan dengan two level games atau permainan dua tingkat (Putnam: 1993). Pada tingkat pertama, seorang negosiator akan berhadapan dengan “lawannya” yang berasal dari negara lain, sementara tingkat kedua diartikan proses negosiasi dan diskusi yang terjadi di wilayah domestik negosiator, di mana para anggota parlemen, LSM, ataupun kelompok-kelompok domestik lainnya menjadi “lawan” mereka. Hasil negosiasi level kedua akan sangat mempengaruhi keberhasilan negosiasi di level pertama. Putnam lantas menguraikan mengenai pentingnya “win-set” atau tingkat kesepakatan di level kedua bagi suksesnya negosiasi di level pertama. Artinya, semakin besar kesepakatan domestik, berarti semakin besar win-set dan semakin besar pula perundingan di level pertama mencapai keberhasilan. Sebagai contoh, rumitnya proses ratifikasi kebijakan luar negeri di parlemen berarti kecilnya tingkat win-set dan kecilnya peluang kesuksesan pelaksanaan politik luar negeri dan diplomasi, karena kecilnya tingkat kesepakatan domestik akan memperlemah posisi tawar dengan pihak asing. [1]

Sebaliknya, proses penyetujuan kebijakan yang tidak terlalu rumit akan membuat kebijakan tersebut mantap dan efektif karena memperkecil celah terjadinya polemik domestik yang pada akhirnya akan memperlemah posisi tawar pada forum internasional. Namun, di sisi lain, pilihan untuk melakukan penyederhanaan proses ratifikasi juga akan memberi peluang bagi sentralisasi kebijakan. Karena itu, diperlukan suatu rumusan yang tepat bagi suatu mekanisme pembuatan keputusan yang demokratis dan efektif.

Gagasan Putnam mengenai two level games dan win-set menjadi landasan teoretis bagi asumsi bahwa aturan-aturan mengenai kekuasaan dan kewenangan dalam memutuskan kebijakan yang berkaitan dengan hubungan luar negeri, akan sangat mempengaruhi kebijakan dalam tataran operasional. Singkatnya, penataan institusi yang mengarah kepada terciptanya mekanisme pembuatan keputusan yang jelas dan efektif, akan memberikan kontribusi bagi optimalitas pelaksanaan kebijakan luar negri dan diplomasi.[2]

Namun demikian, pada perkembangannya, strategi two level game ini tidak selalu difokuskan untuk menganalisis proses negosiasi dan ratifikasi traktat internasional. Tetapi juga dikembangkan pada hubungan luar negeri suatu negara yang memang memiliki basis kepentingan domestik yang cukup kuat atau yang menjadi kebutuhan negara tersebut untuk segera ditangani.[3]

Contoh kasus yang menarik adalah ketika seorang pengemudi truk berkebangsaan Filipina, Angelo de la Cruz, beberapa dibebaskan oleh kelompok militan di Irak setelah pemerintah Filipina memenuhi tuntutan kelompok tersebut untuk menarik pasukan Filipina yang terdiri atas 51 orang tentara dari Irak. Keputusan kontroversial Presiden Gloria Macapagal-Arroyo ini menuai banyak kritik, terutama dari Amerika Serikat dan Australia. Apa yang melatarbelakangi keputusan Pemerintah Filipina? Dan bagaimana kebijakan ini akan mempengaruhi komitmen internasional Filipina, terutama dalam hubungannya dengan sekutu terdekatnya, Amerika Serikat?

Menjawab pertanyaan tersebut, latar belakang kebijakan kontroversial itu tampaknya cukup jelas: pertimbangan-pertimbangan politik domestik ternyata lebih signifikan dibanding pertimbangan posisi negara di dunia internasional. Filipina memiliki sejumlah besar tenaga kerja yang bekerja di kawasan Timur Tengah dan devisa yang mereka hasilkan cukup besar. Dengan kenyataan ini, penting bagi pemerintah Filipina untuk menjamin kelangsungan keselematan para pekerja ini. Ketika kasus penyanderaan De la Cruz mencuat, apalagi dengan ancaman pemenggalan, pemerintah Filipina melihat adanya risiko reaksi keras, baik dari kelompok tenaga kerja di Timur Tengah maupun masyarakat di Filipina. Risiko ini dinilai berbahaya bagi pemerintahan Presiden Arroyo yang masih dalam keadaan rentan dan dalam upaya keras untuk menggalang kekuatan setelah melewati pemilihan umum yang amat ketat.

Meski demikian, hubungan AS-Filipina, meski kini terganggu, akan tetap dapat bertahan. Tekanan internasional, meskipun dalam kasus-kasus ekstrem terpaksa harus diabaikan karena adanya kepentingan domestik yang jauh lebih besar, tetap pada akhirnya memiliki signifikansi yang lebih besar karena ada kepentingan negara untuk tetap eksis dalam sistem internasional, baik dalam bentuk kebutuhan keamanan maupun terciptanya lingkungan internasional yang kondusif dan menguntungkan.

Dalam merumuskan kebijakan luar negeri, para pembuat kebijakan harus menghadapi berbagai konstituen sekaligus: negara-negara lain dalam sistem politik internasional, termasuk berbagai aktor yang terlibat di dalamnya, dan konstituen mereka sendiri, yaitu masyarakat di dalam negeri. Para pembuat kebijakan harus menyadari bahwa hasil-hasil kebijakan akan selalu rentan terhadap berbagai faktor domestik dan juga, sebaliknya, kebijakan luar negeri akan berdampak pada keadaan politik domestik.

Ada beberapa cara melalui mana keadaan domestik berpengaruh pada kebijakan luar negeri. Faktor-faktor domestik dapat menjadi sumber dan juga hambatan bagi kebijakan luar negeri. Pada kasus-kasus dengan tuntutan komitmen internasional mengacu pada arah yang berlawanan dengan kepentingan domestik, faktor domestik akan menjadi hambatan bagi kebijakan luar negeri. Negara-negara terikat secara internasional melalui kepentingan yang sama, tetapi dalam banyak kasus keterikatan tersebut menuntut beban domestik, baik secara politis maupun finansial. Ada kasus-kasus dengan tekanan internasional dianggap lebih serius sehingga suatu pemerintahan dituntut untuk mengambil risiko kemunduran dalam kebijakan lainnya di dalam negeri yang berarti hantaman bagi popularitas bagi pemerintahan tersebut bagi publiknya sendiri.[4]


[1]Robert Putnam’s seminar 1988 paper, “Diplomacy and Domestic Politics: The Logic of Two-Level Games”

[2] The Center for Presidential and Parliamentary Studies,ParamadinaUniversity

[3] RPKPS, Politik Kerjasama Internasional, Dr. Nanang Pamuji

[4] Centre for Strategic and International Studies

Leave a comment