Posts Tagged ‘film’

Review film ‘HAIR’

Hair – Peace Movement

200px-Hairmovieposter

Film yang dikemas dalam sebuah film musical ini diangkat dari panggung Broadway yang melukiskan keadaan sosial Amerika pada tahun 1970an. Mengisahkan tentang seorang laki-laki, Claude, yang harus memenuhi panggilan militernya dan kemudian bertemu dengan sekelompok anak jalanan yang membawa dia melewati bermacam kejadian tak terlupakan dalam hidupnya.

Metode menggunakan ‘lagu’ sebagai salah satu bentuk sarana untuk menyampaikan pesan bukanlah sesuatu yang baru bagi kita dan bahkan semakin banyak dijumpai dimana-mana karena alasan mudah, murah, dan cukup ekektif. Bahkan dalam aksi-aksi nir kekerasan pun metode singing ini kerap kali dipakai. Seperti misalnya John Legend atau bahkan Slank yang sering menyampaikan kritik terhadap pemerintah melalui lirik-liriknya. Begitupun dalam film ini, Milos Forman, sang sutradara,  berusaha menyampaikan fakta-fakta sosial seperti isu diskriminasi rasial, politik, gender dan perang yang dikemas sedemikian rupa agar mudah diterima namun tersampaikan pesannya.

Inti dalam film ini sebenarnya terletak pada empat orang anak jalanan tersebut. Mereka terlihat seperti ingin melepaskan diri dari sistem sosial yang mengikat mereka. Salah satu dari gerombolan tersebut, Berger, sebenarnya hidup berkecukupan dan masih memiliki orang tua. Dan satu orang lagi bahkan memiliki istri dan anak. Mereka mencoba membebaskan diri dari kekerasan struktural dan kultural yang ada dalam masyarakat, yang menuntut mereka untuk selalu mematuhi aturan dan norma yang berlaku. Satu-satunya wanita yang ada di antara mereka, Jeannie, bahkan hamil tanpa tahu mana di antara tiga orang itu yang menjadi ayahnya dan dia tidak peduli dengan kenyataan itu. Mereka sama sekali tidak bergantung pada siapapun untuk memenuhi hak nya sehingga tidak merasa harus memenuhi kewajiban kepada masyarakat. Dan mereka bertahan menghadapi kekerasan tersebut tanpa melakukan kekerasan, meskipun terkadang tingkah laku mereka mengganggu ketenangan umum.

Hal ini mengingatkan kita bahwa kekerasan tidak hanya terjadi secara fisik atau kekerasan langsung. Kekerasan struktural dan kultural justru mengakibatkan dampak yang meluas dan lebih parah meskipun tidak terasa. Diskriminasi rasial, perbedaan strata ekonomi, status justru menimbulkan lebih banyak kekerasan lagi. Banyak orang lupa atau tidak tahu bahwa perdamaian bukanlah hanya sekedar ketiadaan kekerasan fisik, namun tidak bisa dipungkiri bahwa perdamaian positif, dimana kekerasan struktural dan cultural tidak ada, sangat sulit untuk diciptakan. Karena kekerasan seperti itu dibentuk oleh sistem, tidak dapat dikenali sehingga tidak bisa ditangani serta efeknya sangat lama. Terlebih biasanya yang sering melakukan kekerasan struktural adalah Negara, yang seharusnya berkewajiban melindungi warganya.

Di sini juga terdapat contoh kekerasan struktural yang dilakukan oleh Negara. Film ini berlatar beakang ketika perang Vietnam masih berangsung,  Negara mengirimkan surat penggilan militer kepada warganya untuk ikut berpartisipasi  dalam perang Vietnam, suka ataupun tidak. Dalam kenyataannya masyarakat Amerika yang kurang beruntung (menurut saya begitu) mendapat surat panggilan dan berat hati untuk ikut serta telah melakukan bermacam aksi nir kekerasan untuk menolak kebijakan pemerintah. Selain menolak berpartisipasi aktif, masyarakat Amerika juga menolak segala sesuatu yang berkaitan dengan perang seperti membayar pajak yang akan digunakan untuk membiayai perang. Ini mengingatkan kita pada tokoh Henry David Thoreau yang selama sekian tahun menolak membayar pajak karena tidak setuju dengan perang AS – Meksiko dan masuk penjara karenanya. Dia juga membuat sebuah tulisan berjudul Civil Disobedience tentang seseorang yang tidak setuju secara moral dengan kebijakan-kebijakan negara yang kemudian menjadi inspirasi bagi banyak tokoh-tokoh besar seperti Hemmingway, Luther King, Gandhi dan masih banyak lagi. Salah satu kata-katanya yang terkenal adalah “I’m too high born to be propertied. To be a second at control, or useful serving-man and instrument to any sovereign state throughout the world”. Dia berpendapat bahwa Negara tidak peduli pada moral dan intelektual seseorang, Negara hanya peduli pada kekuatan fisik orang tersebut, “I was born not to be forced. I will breath after my own fashion.”

Namun Claude memilih untuk memenuhi panggilan militernya karena merasa itu adalah kewajiban yang harus dia penuhi meskipun teman-temannya membantu untuk menghindarkan dia dari panggilan tersebut. Jeannie bahkan menawarkan kepada Claude untuk menikahinya agar Claude terbebas dari panggilan militer. Dan akhir yang tidak disangka adalah, ketika Berger menyamar sementara agar Claude dapat menemui Sheila sebelum pergi, jadwal keberangkatan dimajukan dan Berger terpaksa ikut perang dan tewas.

Secara keseluruhan, film ini jelas melukiskan beragam permasalahan sosial yang terjadi di Amerika dan bagaimana mereka menghadapinya dengan cara-cara yang tidak biasa. Meskipun masalah-masalah sosial tersebut kebanyakan sudah jarang terjadi di dunia modern sekarang ini namun apa yang mereka lakukan dapat menjadi inspirasi bagi kita.

-ditulis untuk memenuhi tugas akhir Pengantar Studi Perdamaian 2009-